Janji Pemerintah soal Pengangguran: Solusi Nyata atau Sekadar Gimik Politik?
Pengangguran masih menjadi duri dalam daging pembangunan ekonomi Indonesia, suara tangisan dan jeritan muncul di mana-mana. Meski berbagai rezim pemerintahan datang silih berganti dengan klaim “telah menciptakan jutaan lapangan kerja,” realitasnya di lapangan berkata lain.
Banyak anak muda, bahkan yang bergelar sarjana, masih bergelut mencari pekerjaan yang layak. Maka muncul pertanyaan yang menggugah nalar: apakah program pemerintah sungguh menurunkan angka pengangguran? Apakah ini hanya manuver politis berkedok solusi?
Potret Pengangguran yang Tak Banyak Berubah
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) Indonesia per Agustus 2024 berkisar di angka 5,3%. Sekilas terlihat turun dibanding masa pandemi, namun penurunan ini perlu dilihat secara lebih jeli.
Sebab, banyak yang disebut “bekerja” sebenarnya hanya menggantungkan hidup dari pekerjaan informal, tanpa kepastian pendapatan atau jaminan masa depan.
Lebih mengkhawatirkan lagi, lulusan perguruan tinggi justru mendominasi kelompok penganggur terdidik. Banyak dari mereka yang memiliki ijazah, tetapi tidak memiliki keahlian yang benar-benar dibutuhkan oleh dunia kerja saat ini.
Program Pemerintah: Jalan Keluar atau Jalan di Tempat?
Menghadapi pengangguran di mana-mana, tentu pemerintah tentu tidak berdiam diri. Sejumlah program telah diluncurkan demi mengatasi pengangguran yang semakin meningkat. Di antaranya adalah:
Kartu Prakerja. Kartu ini digunakan untuk memberikan bantuan, pelatihan kerja dan mempersiapkan keterampilan para pencari kerja. Selain itu, ada juga balai Latihan Kerja (BLK) yang tersebar di berbagai kota untuk membekali masyarakat dengan keahlian teknis.
Pemerintah juga menyediakan program pengembangan wirausaha dan akses ke Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi pelaku usaha pemula atau UMKM.
Lalu ada juga berbagai proyek infrastruktur yang masif yang diyakini bisa menyerap banyak tenaga kerja. Namun, apakah semua ini benar-benar menjawab akar masalah, atau hanya upaya tempelan agar tampak bekerja?
Kartu Prakerja: Peluang Emas atau Pelatihan Basi?
Salah satu program yang paling ramai dan diperbincangkan adalah Kartu Prakerja. Sejak diluncurkan pada 2020, jutaan peserta telah terdaftar dan mengikuti pelatihan daring. Namun, tidak sedikit kritik dilayangkan: mulai dari konten pelatihan yang terlalu umum, hingga minimnya relevansi dengan kebutuhan industri.
Beberapa pelatihan bahkan dianggap sekadar formalitas, karena lebih cocok disebut tutorial YouTube berbayar ketimbang kursus profesional. T
anpa adanya pendampingan, penempatan kerja, atau keterkaitan langsung dengan industri, program ini dikhawatirkan hanya menjadi proyek jangka pendek yang miskin dampak jangka panjang.
Ketimpangan antara Dunia Pendidikan dan Dunia Nyata
Salah satu akar dari tingginya pengangguran adalah miskinnya koneksi antara lembaga pendidikan dan dunia industri. Banyak lulusan kampus yang jago teori, namun gagap praktik. Di sisi lain, dunia kerja menginginkan tenaga siap pakai, bukan yang masih harus "dimatangkan" lagi.
Program vokasi dan kerja sama industri memang mulai dirintis, namun skalanya masih kecil dan belum menjadi budaya pendidikan nasional. Tanpa transformasi menyeluruh dalam sistem pembelajaran dan penilaian kompetensi, gap ini akan terus menganga.
Dari Janji ke Aksi: Politik Tak Boleh Sekadar Retorika
Setiap musim kampanye, janji pengentasan pengangguran selalu menjadi menu wajib. Namun ketika pesta demokrasi usai, tidak semua janji itu berubah jadi program nyata.
Bahkan beberapa program yang sudah dijalankan pun kerap tak berumur panjang, karena hanya didesain untuk kepentingan jangka pendek, alias proyek pencitraan.
Parahnya lagi, birokrasi berbelit dan laporan fiktif kerap menjadi ‘lubang hitam’ dari keberhasilan program. Tanpa sistem evaluasi yang jujur dan terbuka, sulit menilai apakah anggaran benar-benar digunakan untuk membangun masa depan, atau hanya mengisi laporan tahunan.
Langkah Nyata, Bukan Basa-Basi
Jika pemerintah sungguh ingin memberantas pengangguran, maka strategi harus berubah dari sekadar pelatihan ke pembangunan ekosistem kerja yang sehat. Beberapa hal yang mendesak dilakukan:
Reformasi kurikulum pendidikan agar responsif terhadap dinamika pasar kerja. Kemitraan strategis antara swasta, pendidikan, dan pemerintah, bukan kerja sendiri-sendiri.
Basis data tenaga kerja dan kebutuhan industri harusnya akurat, sehingga bisa menyusun program berbasis realita, bukan asumsi. Evaluasi dan transparansi program ketenagakerjaan juga diperlukan supaya bisa dikawal publik secara objektif.
Pendampingan UMKM dan kewirausahaan berbasis komunitas harusnya dapat dioptimalkan,bukan setelah pinjaman modal lalu mereka dilepas begitu saja.
Mengurangi pengangguran tidak bisa dilakukan hanya dengan slogan dan program tempelan. Butuh keberanian politik, konsistensi kebijakan, dan keterlibatan lintas sektor.
Rakyat sudah terlalu sering diberi harapan palsu. Kini saatnya pemerintah membuktikan bahwa mereka benar-benar bekerja untuk menciptakan masa depan yang layak, bukan sekadar menyelamatkan wajah di layar kaca.
