Ketika Aspirasi Tersumbat: Bagaimana Rakyat Menyuarakan Diri?
Ketika ruang demokrasi menyempit dan aspirasi rakyat terhalang, bagaimana mereka menemukan cara menyuarakan diri secara damai dan efektif?
Di negara demokrasi seperti Indonesia, suara rakyat seharusnya menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan. Namun, kenyataan di lapangan tak selalu seindah idealismenya.
Dalam beberapa tahun terakhir, publik menyaksikan bagaimana saluran aspirasi mulai mengecil. Akses terhadap ruang menyampaikan pendapat dibatasi, kritik dianggap ancaman, dan demonstrasi dibungkam sebelum berkembang. Di sinilah rakyat diuji: ketika aspirasi tersumbat, bagaimana mereka menyuarakan diri?
Aspirasi yang Tak Sampai
Mekanisme formal seperti musyawarah perencanaan pembangunan, dialog publik, atau wakil rakyat di parlemen sering kali tidak menjawab kebutuhan riil masyarakat.
Ada kalanya, aspirasi rakyat yang disampaikan secara resmi justru tidak didengar dan hilang begitu saja. Padahal ada banyak masyarakat luas yang mengkritik dan protes, namun suara mereka tidak pernah sampai kepada pengambil kebijakan.
Akibatnya, ketidakpercayaan dan sikap apatis kepada pemerintah dan wakil rakyat semakin tumbuh. Kita melihat bukan hanya hanya sistem formal yang lemah, namun media massa juga kerap tidak sepenuhnya independen.
Polarisasi media membuat suara rakyat yang netral atau kritis pada akhirnya akan kehilangan panggung. Pemberitaan media yang masif justru dipenuhi dengan narasi elite yang penuh dengan janji-janji palsu.
Sedangkan suara-suara dari pinggiran; sura rakyat kecil, petani, buruh dan nelayan nyaris tak terdengar. Setiap bentuk protes kepada pemerintah sering dianggap sebagai pembangkangan, apakah negara ini sudah menjadi otoriter?
Media Sosial: Panggung Baru Aspirasi Rakyat
Media sosial pun menjadi tempat alternatif yang populer. Twitter (sekarang X), TikTok, Instagram, hingga YouTube dipakai untuk menyuarakan keluhan, unek-unek, kritik, bahkan kampanye. Ada banyak sekali tagar yang viral sebagai bentuk protes dan kritik yang ditujukan kepada pemerintah.
Misalnya #percumalaporpolisi atau #indonesiagelap. Tagar-tagar ini bukanlah simbol perlawanan, tetapi bentuk aspirasi atas gagalnya penegak hukum dalam menegakan keadilan.
Meskipun media sosial adalah alat yang cukup baik untuk mengawasi kinerja pemerintah, namun panggung digital tak luput dari risiko. Mengapa demikian? Karena polarisasi digital seringkali memicu perbedaan pendapat, perpecahan dan bahkan kebencian antar para pendukung.
Akibatnya, tak sedikit dari mereka yang pada akhirnya memilih diam karena takut dilabeli sebagai buzzer. Bahkan ada yang dikriminalisasi karena memberikan kritik yang tajam dan pedas kepada aparat penegak hukum dan pemerintah.
Di sisi lain, platform media sosial juga melahirkan solidaritasr antar pemuda dan rakyat Indonesia. Sebagai contoh, unjuk rasa di Pati atas kebijakan Bupati Sadewo yang menaikan pajak secara ugal-ugalan. Bahkan lebih dari itu, Bupati Sadewo juga dituntut untuk mundur dari jabatannya.
Seni sebagai Senjata Sunyi
Di saat suara dan aspirasi rakyat dibungkam, kesenian justru mengambil alih. Misalnya Mural di dinding kota, gambar-bambar di jalanan kota dan lagu bayar-bayar polisi yang viral sebagai wujud protes atas ketidakadilan.
Berbagai tindakan tersebut adalah bahasa alternatif dari sebagian orang untuk menyampaikan keresahan hati masyarakat. Melalui seni yang bisa langsung menyentuh emosional masyarakat luas, mereka hanya protes tanpa harus berteriak.
Kita tahu bahwa seni memiliki kekuatan yang tak mudah diabaikan. Ia dapat masuk ke ruang publik dengan halus, namun menyisakan dampak mendalam.
Misalnya mural atau dan lagu bayar-bayar polisi mampu menggugah empati lebih dari orasi politik. Ini adalah bentuk resistensi yang halus namun efektif.
Solidaritas Komunitas
Saat jalur resmi untuk menyampaikan pendapat mulai tertutup rapat, rakyat tidak lantas bungkam. Mereka mencari alternatif lain supaya dapat menyampaikan aspirasinya.
Komunitas lokal, organisasi masyarakat sipil, kelompok peduli lingkungan, jaringan perempuan, hingga lembaga keagamaan menjelma menjadi pelabuhan baru bagi suara-suara yang terpinggirkan.
Dari kampanye digital yang menentang penggusuran paksa, hingga aksi solidaritas berupa penggalangan dana untuk korban ketidakadilan, semua dirancang untuk memperkuat suara-suara kecil agar tak lagi teredam.
Di sudut-sudut kota dan desa, muncul pula kelas hukum bagi warga yang selama ini tak terjangkau edukasi gerakan-gerakan mikro yang membawa dampak makro.
Yang membuat gerakan ini berbeda adalah cara mereka menyampaikan pesan: damai, imajinatif, dan tidak meledak-ledak. Ketika aparat semakin sensitif terhadap kerumunan, rakyat merespons dengan aksi-aksi yang penuh simbol namun minim gesekan.
Namun, tantangan tak berhenti di situ. Era digital yang semula dianggap sebagai ruang merdeka, kini justru menghadirkan ancaman baru. Dalam beberapa kasus, pembungkaman kritik kadang melalui penghapusan konten, penghapusan Mural, pemblokiran akun, bahkan dijerat pasal karet.
Ruang dunia maya yang luas kini mulai dipasangi pagar besi, mereka sedang menekan kebebasan berpendapat secara perlahan tapi pasti.
Perbedaan opini seharusnya sehat dalam demokrasi, tetapi kerap kali berujung konflik horizontal. Polarisasi tajam memisahkan solidaritas, mengubah aspirasi menjadi arena perdebatan tanpa arah.
Dalam kondisi seperti ini, rakyat dihadapkan pada dua pilihan: tetap bersuara dengan risiko tinggi, atau diam demi menghindari represi. Tapi di antara keduanya, muncul satu pilihan ketiga yang kian populer: bersuara secara bijak, kolektif, dan menjaga agar ruang publik tetap utuh.
Menyampaikan sebuah aspirasi bukan hanya soal didengar, tetapi juga soal menjaga kohesi sosial agar tidak retak oleh kebisingan yang salah arah.
