Membingkai Kebenaran: Ketika Politik Mengatur Cara Kita Melihat Dunia
Dalam percakapan politik hari ini, kebenaran kerap kali bukan soal apa yang sedang terjadi, melainkan bagaimana ia diceritakan. Bukan substansi yang lebih dulu muncul, tetapi bingkai yang membentuk persepsi. Inilah paradoks di era ketika informasi tak lagi langka, melainkan berlimpah tanpa batas.
Kita menyaksikan dunia politik seperti panggung yang besar, di mana para aktornya pandai bersandiwara. Mereka sedang menata cahaya, memilih latar, dan mengatur lampu yang menarik.
Kita sebagai masyarakat yang menonton sering kali tidak menyadari bahwa yang dilihat bukan kenyataan mentah, tapi kenyataan yang telah dikemas dan dipilihkan sudut pandangnya.
Cerita sebagai Senjata
Narasi telah menjelma menjadi senjata utama dalam kompetisi politik. Ia tidak hanya membangun citra, tapi juga menciptakan musuh, memoles kegagalan, dan menanamkan memori kolektif.
Ketika seseorang disorot karena kontroversi, pertarungan sebenarnya bukan terletak pada benar atau salah, tetapi pada siapa yang lebih dahulu menguasai ruang cerita.
Persepsi publik, sayangnya, tidak dibentuk oleh verifikasi, tapi oleh kedekatan emosional dan kemasan naratif. Kita tidak lagi melihat realitas, melainkan versi yang telah dibingkai oleh politisi, media, atau bahkan algoritma.
Dari Ruang Redaksi ke Ruang Timeline
Media memiliki peran sentral dalam membentuk bingkai ini. Editorial media bukan hanya menyajikan data, tapi juga menentukan dari mana fakta itu dipandang. Judul berita, kalimat pembuka, gambar yang dipilih, hingga siapa yang dikutip pertama semuanya adalah pilihan framing.
Kini, di era digital, proses itu tidak lagi eksklusif milik media. Siapa pun bisa menjadi produsen narasi, seperti: influencer, akun anonim, bahkan bot.
Platform media sosial mempercepat dan memperkuat efek bingkai. Algoritma bekerja bukan untuk menyampaikan yang paling benar, melainkan yang paling menarik perhatian. Kebenaran pun, perlahan, tunduk pada logika clickbait.
Demokrasi dalam Kabut Narasi
Dalam iklim semacam ini, politik menjadi arena interpretasi tanpa akhir. Kebijakan bisa dianggap berhasil atau gagal tergantung siapa yang membingkainya.
Satu data ekonomi bisa jadi narasi keberhasilan di satu kubu, dan dianggap manipulatif di kubu lain. Polarisasi tumbuh, bukan karena realitas yang berbeda, tetapi karena kaca mata bingkai yang tak sama.
Demokrasi tidak tumbuh subur dalam kekacauan. ketika demokrasi tersubat, apa yang harus masyarakat lakukan? Ia butuh ruang publik yang sehat; bukan yang bising, tapi yang jernih.
Ketika narasi digunakan untuk mempertebal kebencian atau menutup-nutupi kebenaran, maka ini sedang tidak baik-baik saja. Sedangkan publik hanya akan menjadi penonton yang tersesat dalam drama politik yang tak berujung.
Menemukan Arah di Tengah Bingkai
Tugas kita hari ini bukan menolak narasi, tapi belajar membacanya. Kita harus lebih awas terhadap siapa yang menyusun cerita, untuk tujuan apa, dan apa yang sengaja disembunyikan. Literasi politik masa kini bukan hanya soal memahami kebijakan, tapi juga membongkar cara cerita dibangun.
Sebab dalam politik, yang paling berkuasa bukan yang paling benar, tapi yang paling berhasil membingkai kebenaran. Baca juga tentang Narasi atau Manipulasi.
