Upah Jalan di Tempat, Harga Melambung: Rakyat Miskin Semakin Terpinggirkan


Ketika harga sembako naik setiap tahun, tapi upah pekerja hanya jalan di tempat. Inflasi menyebabkan rakyat kecil semakin miskin dan terpinggirkan. Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang dirilis oleh pemerintah seakan tak pernah mengubah keadaan masyarakat.

Masyarakat kecil harus selalu menerima kenyataan pahit, banyak anak-anak yang masih hidup dalam kelaparan; contohnya di Papua. Harga kebutuhan hidup terus naik juga membuat para pekerja gaji UMR tak bisa berbuat banyak. 

Harga barang dan kebutuhan hidup selalu naik, tetapi gaji mereka tetap stagnan. Apakah ini menjadi tanda bahasa Indonesia gelap benar-benar akan terjadi? Pemerintah harus peka dan serius melihat hal ini.

Bagi kelompok masyarakat menengah ke bawah seperti buruh, petani, nelayan, pedagang kecil, hingga para karyawan yang gajinya pas-pas-an tetaplah semangat. Setidaknya, kalian tidak akan mati kelaparan. 

Jujur saja, apalagi kita menyusuri pinggiran kota, masih banyak sekali masyarakat yang hidupnya tak layak. Oleh sebab itu, upah minimum pekerja saat ini harus ditingkatkan. Tapi, mengapa pemerintah diam saja, seolah menutup mata. 

Sedangkan tunjangan para pejabat yang terkenal korup terus meningkat dan segala fasilitasnya. Ini sungguh ironis dan memalukan sekali!

Kenaikan Harga: Keniscayaan yang Kian Tak Terbendung

Inflasi mungkin sudah menjadi istilah rutin di telinga kita, tetapi bagi rakyat kecil, inflasi bukanlah angka. Ini adalah kenyataan getir yang mereka rasakan tiap kali belanja ke warung, ke pasar, atau ke pom bensin. Harga beras premium melampaui Rp15.000 per kilogram.

Belum lagi harga minyak goreng naik-turun tak menentu, harga cabai rawit menyentuh angka juga sangat fantastis. Dan semua itu terjadi hampir tanpa intervensi nyata dari pemerintah yang katanya pro-rakyat.

Sektor pangan kita memang rentan. Ketergantungan pada impor, minimnya kedaulatan petani lokal, serta rantai distribusi yang dikuasai segelintir pemain besar membuat harga komoditas sangat mudah diguncang. Sedikit gangguan cuaca, harga melonjak. 

belum lagi nilai tukar rupiah yang terus melemah, sehingga harga barang menjadi naik. Konflik global meletus, rakyat di kampung harus menambah air ke dalam panci agar sayur bisa cukup untuk makan sekeluarga.

Upah yang Tak Beranjak

Ironisnya, di tengah tekanan harga-harga yang terus mendaki, penghasilan masyarakat justru nyaris tak berubah. Upah minimum naik hanya setipis kulit bawang setiap tahunnya. 

Ini pun masih di bawah angka kebutuhan untuk hidup layak.  Belum lagi dengan banyaknya pekerja yang tidak tersentuh skema upah minimum dan jaminan sosial apa pun. 

Lihatlah para pengemudi ojek online yang berjibaku sepanjang hari mencari untuk membeli beras dan susu untuk anak-anaknya.  Lihat juga para pedagang kaki lima yang harus bersaing dengan retail modern dan e-commerce besar. 

Mereka bekerja keras, bahkan lebih keras dari para pejabat DPR yang sering molor ketika rapat. Tapi penghasilan mereka tetap jauh dari cukup untuk kehidupan yang lebih manusiawi.

Ada pula para buruh pabrik yang terus memproduksi barang-barang ekspor dengan nilai fantastis, tapi gaji mereka tak jauh-jauh dari angka tiga juta per bulan. 

Selain itu, ada puluhan ribu masyarakat yang sedang berusaha untuk mendapatkan pekerjaan. Tapi sayangnya, ribuan lamaran, nol panggilan.

Daya beli mereka tergerus pelan-pelan, nyaris tak terasa, tapi pasti. Dan ketika daya beli melemah, roda ekonomi pun sebenarnya melambat. Tapi, siapa yang peduli?

Pemerintah yang Tersandera Narasi Pertumbuhan

Pemerintah sekarang ini lebih senang bicara tentang pertumbuhan ekonomi. Target 5% seakan menjadi mantra sakti. Namun, pertumbuhan ekonomi yang hanya dinikmati segelintir orang bukanlah kemajuan. Hal semacam ini adalah pengabadian ketimpangan. 

Ketika investasi digalakkan tanpa memperhatikan distribusi keadilan, maka hasilnya adalah eksploitasi. Ini sangat nyata sekali, pertambangan tidak pernah menghasilkan kesejahteraan rakyatnya. Ingat Papua dan Kalimantan, banyak rakyat yang justru disisihkan.

Subsidi dicabut dengan dalih efisiensi fiskal, namun kompensasinya tidak pernah cukup. Bantuan langsung tunai hanya sesaat, sementara kebutuhan rakyat bersifat harian. 

Sering kali kebijakan ekonomi lebih banyak menguntungkan pasar ketimbang rakyat. Pemerintah seolah berjalan di atas angka dan grafik, bukan di atas tanah tempat rakyat berpijak.

Yang Kaya Makin Kaya, yang Miskin Makin Terjepit

Ketimpangan kini bukan hanya soal jarak pendapatan, tapi juga soal akses. Misalnya akses terhadap pendidikan berkualitas, layanan kesehatan, peluang kerja, hingga makanan bergizi. Sementara kelas atas punya semua itu, kelas bawah harus berjuang dari nol, bahkan dari minus.

Kita sedang menyaksikan fenomena klasik dalam ekonomi. Upah tetap, harga naik, kelas menengah jatuh miskin, dan yang miskin semakin terpinggirkan. Data BPS menunjukkan bahwa angka kemiskinan ekstrem masih belum berhasil ditekan secara signifikan. 

Tapi di luar angka itu, ada kemiskinan tersembunyi yang tak tercatat. Mereka yang masih bisa makan, porsinya dikurangi; mereka yang punya rumah, tapi tak sanggup membayar air bersih. Mereka yang punya pekerjaan, tapi tak cukup sejahtera untuk disebut layak.

Pemerintah Lihatlah Rakyatmu

Masyarakat kecil tidak membutuhkan pertumbuhan ekonomi. karena yang mereka butuhkan adalah keberpihakan. 

Saat harga pangan naik, pemerintah tak boleh sekadar menyalahkan cuaca atau situasi global. Namun perlu reformasi struktural yang jelas untuk memperkuat produksi lokal.

pemerintah juga perlu memperpendek rantai distribusi dan mengintervensi pasar secara sehat untuk melindungi konsumen. Upah minimum juga harus ditinjau ulang. 

Tidak cukup hanya mengacu pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada realitas kebutuhan hidup yang terus berubah. Pemerintah bersama serikat pekerja dan pengusaha harus menciptakan formula yang adil, bukan yang sekadar kompromi.

Sektor informal juga butuh perhatian. Dengan jumlah pekerja informal yang begitu besar di Indonesia, sudah saatnya mereka mendapatkan jaminan sosial, akses pembiayaan, serta pelatihan keterampilan untuk meningkatkan taraf hidup mereka.

Keadilan Sosial Hanya Slogan, Tapi Tanpa Tanggung Jawab

Konstitusi kita menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi selama ketimpangan dibiarkan, selama harga kebutuhan pokok tak terkendali, dan selama upah tidak layak, maka janji itu hanyalah slogan kosong.

Rakyat tidak butuh belas kasihan. Mereka butuh sistem yang adil, peluang yang nyata, dan kebijakan yang benar-benar berpihak pada mereka. 

Jika tidak, kita sedang menggali jurang yang semakin dalam, jurang yang suatu saat bisa menjadi krisis sosial yang tak lagi bisa dibendung dengan sekadar bantuan sementara. Baca juga Lulusan Baru, Masa Depan Buntu.

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url